CONTOH KASUS BAB 4
Manusia dan Cinta Kasih
“AYAH JAJAKAN GINJAL SEHARGA IJAZAH ANAK DIBUNDARAN
HI”
JAKARTA, KOMPAS.com — Di tengah teriknya sinar matahari yang menerpa Ibu Kota, seorang bapak dan putrinya memegang poster dan menunjukkannya kepada para pengendara mobil yang melintas di Bundaran Hotel Indonesia. Pada poster itu, sang ayah menawarkan ginjal untuk menebus ijazah putrinya itu yang bernama Sarah Meylanda Ayu. Dia adalah Sugiyanto. Dia terpaksa melakukan hal tersebut demi menebus ijazah Ayu di Pondok Pesantren Al Asriyah Nurul Iman. Untuk menebus ijazah anak keduanya itu, pria yang bekerja sebagai penjahit itu harus membayar Rp 17 juta. Sampai saat ini, ijazah SMP dan SMA Ayu selama bersekolah di pesantren itu belum juga diambilnya. "Jangankan ginjal, jantung pun saya jual jika ada yang mau. Demi anak saya, saya rela mati," kata Sugiyanto di Bundaran HI, Rabu (26/6/2013). Sugiyanto
mengatakan, tadinya ia diharuskan
membayar sejumlah uang administrasi
selama Ayu menempuh pendidikan di pondok
pesantren yang terletak di Desa Waru
Jaya, Parung, Bogor. Dia diharuskan
membayar Rp 70 juta. Sebab, sekolah itu
meminta Sugiyanto membayar Rp 20.000 per
hari sejak Ayu masuk pesantren dari tahun
2005. "Tapi, setelah saya ngomong
dengan pihak
sekolah, akhirnya sekolah memutuskan agar saya bayar uang ijazahnya saja. Yang Rp 70 juta dibebaskan," ujarnya. Walau demikian, ia tetap belum mampu menebus ijazah yang diminta pesantren
tersebut. Untuk menebus ijazah SMP anaknya, Sugiyanto harus membayar Rp 7 juta, sementara untuk ijazah SMA Rp 10 juta. Sugiyanto tidak mampu membayarkan ijazah anaknya karena ia tidak mempunyai penghasilan tetap. Warga Kebon 200, Kelurahan Kamal, Jakarta Barat, ini sehari-harinya menerima pesan jahit pakaian di dekat rumahnya. Penghasilannya hanya sekitar Rp 60.000 sampai Rp 80.000 per hari. Itu pun untuk memenuhi kebutuhan hidup kelima anaknya. 21.Sugiyanto
mengaku sudah tidak tahu lagi bagaimana
cara mencari uang untuk menebus ijazah
anaknya itu. Tiga bulan lalu, ia sudah
membicarakan permasalahan ini ke Komnas
HAM, Kementerian Agama, dan Kementerian
Pendidikan. Akan tetapi, belum ada tanggapan dari ketiga lembaga itu. "Rp 1 miliar pun sebenarnya saya tidak
akan mau untuk menjual ginjal saya. Tapi,
demi sekolah anak, saya rela menjualnya,"
ucapnya
Ayu bersekolah di pondok pesantren itu sejak tahun 2005. Ketika itu, ia mengenyam bangku SMP. Awalnya, pihak pesantren tidak memungut biaya dari murid-muridnya, tetapi ketika pemilik
pesantren itu meninggal pada tahun 2010, terjadi perubahan sistem yang mengharuskan
para murid di pesantren tersebut untuk
membayar biaya administrasi. Ayu lulus SMA pada 2012. Ia sempat
melanjutkan kuliah di pesantren tersebut beberapa bulan. Akan tetapi, karena ia tidak sanggup membayar uang administrasi, akhirnya ia memutuskan untuk berhenti kuliah. "Mau sekolah tidak bisa, kuliah tidak bisa. Ijazahnya saja tidak bisa diambil karena belum bayar," ujar gadis berjilbab itu
lirih.